December 15, 2009

Indonesia and wasted (and karaoke)


Ketika saya dan Deta ditawari untuk membantu memasang instalasi untuk proyek Wasted ini kami langsung menerima. Kami pikir akan seperti karya instalasi yang sudah pernah kami lihat sebelumnya, dan ketika mbak Mella menjelaskan bahwa instalasinya berupa labirin yang terbuat dari jaring-jaring dan pakaian meliputi hampir seluruh area Cemeti , whoa…itu bukan pekerjaan yang mudah tentunya.
Kesulitan yang pertama terbayangkan untuk membantu proyek ini adalah kendala bahasa. Karena ini pertama kalinya kami bekerja dengan orang asing. Namun semuanya pupus ketika sudah terjun bersama mereka dalam mengerjakan instalasi. Ternyata mereka dapat mengerti bahasa Inggris kami yang pas-pasan ditambah dengan sedikit bahas tubuh, dan mereka mampu memilih kata atau kalimat yang mudah dimengerti. Kendala kedua, kami tidak terbiasa untuk mengerjakan karya instalasi, kami lebih terbiasa dengan menggambar. Tetapi, sekali lagi, dengan kemampuan luar biasa mereka dalam memilih kata yang mudah kami mengerti, mereka menjelaskan dengan sabar apa yang harus kami kerjakan. Pada awalnya sedikit membingungkan karena mereka memakai kode-kode seperti α, β, γ, A1, A2, B1, B2, dan lain sebagainya, untuk penanda bagi struktur instalasinya. Kode-kode ini mengingatkan pada pelajaran matematika yang kami benci ketika sekolah. Namun kemudian kode-kode itu justru memudahkan kami untuk menyebutkan bagian dari instalasi yang harus kami kerjakan. Yeah, itu sedikit menghapus imej buruk tentang matematika bagi kami.

Turut serta dalam proyek Wasted merupakan pengalaman yang luar biasa. Proyek ini mengembangkan pemahaman kami tentang seni visual, music dan persepsi audiens. Tomoko mempunyai pandangan luar biasa tentang bagaimana mengkombinasikan itu semua.
Di samping itu, sangat menyenangkan ketika kami harus menjadi pemandu wisata dadakan, menjelaskan tentang makanan Indonesia kepada rekan-rekan dari Belanda dan Jepang. Andre dan Annelot terkejut ketika saya bercerita bahwa orang Indonesia mengkonsumsi kepala ayam, dan bagian favorit saya adalah otaknya. “So you eat the chicken’s brain??”, kata Andre sambil menggelengkan kepala. Bagian tersulit adalah ketika saya berusaha menjelaskan apa itu kolang-kaling. Karena tidak ada padanan katanya dalam bahasa Inggris, apalagi mereka belum pernah melihat sebelumnya. Menjelaskan kepada Marieke tentang suara adzan subuh yang membangunkannya, bagaimana mereka terkejut ketika ada seekor kelelawar yang terbang masuk melintasi instalasi. Dan momen yang tak terlupakan adalah ketika kami beramai-ramai mengendarai sepeda motor menuju ke karaoke bar di Jogja utara. Ini merupakan pengalaman pertama berkaraoke bagi Andre dan Annelot. Bagi Maru dan Kei ini hal biasa karena karaoke berasal dari Jepang. Tetapi mereka kesulitan mendapatkan lagu Jepang yang mereka kenal di karaoke bar ini, karena kebanyakan dari lagu yang tersedia merupakan lagu Jepang yang cukup lawas.
Semua pengalaman ini sangat berkesan bagi kami. Semoga hubungan ini tidak berhenti setelah proyek ini selesai dan tetap terhubung walau tepisah oleh samudera dan benua. Semoga lain kali kami yang datang ke Jepang dan Belanda.

Jogjakarta, 14 Desember 2009
Aditya Permana

0 reacties:

Post a Comment